Sudah jadi rahasia umum, kita sering ingin ini dan itu
untuk masa depan anak kita. Karena itu, tak jarang orangtua kemudian mewajibkan
anaknya untuk les atau kursus apa saja. Mulai dari belajar matematika dan
bahasa, tari, balet, piano, vocal, lukis, dan berbagai hal lainnya. Tak salah
memang. Sebab, makin dini bakat bisa dideteksi, makin gampang pula mengarahkan
seorang anak untuk mencapai masa depan yang gemilang.
Namun, yang menjadi masalah adalah ada kalanya orangtua
kebablasan. Maunya mengarahkan, tapi sang anak sebenarnya kurang suka atau
kurang menikmati kegiatan yang diberikan. Atau, ada juga anak yang mau, namun
sebenarnya terpaksa. Hal inilah yang harus diwaspadai orangtua. Jangan sampai
anak seolah-olah menjadi “robot.” Atau, di banyak kasus, ada pula orangtua yang
setengah memaksa anak untuk mengikuti jejaknya.
Jika salah mengarahkan, bisa-bisa anak malah tumbuh tak
seperti yang diharapkan. Padahal, sejatinya, ada banyak bakat manusia yang
didasari oleh berbagai jenis kecerdasan, setidaknya, seperti yang pernah
diungkap oleh Howard Gardner tentang konsep Multiple Intelligence.
Berikut, beberapa pertanyaan mendasar seputar bagaimana
mengarahkan masa depan.
Benarkah
orangtua bisa menentukan apa yang akan jadi “lentera jiwa” anak?
Kadang, memang orangtua bisa mendeteksi bakat anak sejak
dini. Tapi, yang paling sering ditemui adalah orangtua mengarahkan anak, tetapi
di kemudian hari ketika dewasa, ia justru lebih banyak bergonta-ganti profesi.
Karena itu, sebenarnya, jangan pernah membatasi apa yang menjadi keinginan
anak. Menurut Tamar E. Chansky, psikolog anak dan pengarang buku “Freeing Your
Child from Anxiety”, banyak orangtua yang mencoba mengarahkan masa depan demi alasan
agar anak bisa memiliki arahan. Tapi, malah kemudian yang terjadi, ketika
dewasa, ia malah kebingungan dengan masa depannya sendiri.
Untuk itu, Chansky menyarankan, lebih baik
banyak-banyaklah berbincang dengan anak tentang kekuatan dan ketertarikannya,
daripada soal karir yang spesifik untuk masa depannya. Sebab, kadang apa yang
ada di pemikiran orangtua – yang merasa sudah pernah mengalami menjadi anak,
remaja, dan dewasa-- seringkali kurang sesuai dengan perkembangan pemikiran
anak yang zamannya sudah berbeda.
Apakah
orangtua “berhak” menentukan masa depan anak?
Sebenarnya sah-sah saja orangtua menyarankan tentang apa
yang terbaik bagi anak mereka. Namun, harus diingat, bahwa zaman telah berubah.
Dunia terus mengalami pergeseran nilai, yang barangkali saat kita dulu dengan
sekarang sangat jauh perbedaannya. Karena itu, Steve Langerud, direktur di
pelayanan karier DePauw University di Greencastle mengingatkan, orangtua jangan
membatasi keinginan anak untuk memilih masa depannya. Sebab, pasar berubah
sangat cepat. “Bahkan, dunia karir saat anak masuk kuliah dengan ketika ia
keluar kuliah nantinya bisa sangat berbeda,” ujar Langerud.
Untuk itu, Langerud menyarankan, daripada bertanya pada
anak: “Ingin menjadi apa kamu nanti?”, akan lebih baik bertanya: “Apa kemampuan
yang kamu miliki?”, “Lingkungan karir seperti apa yang kamu harapkan?”,
“Orang-orang seperti apa yang kamu harapkan bisa diajak kerja sama?”
Sudah
tepatkah kita mendiskusikan karir dan masa depan dengan anak?
Soal karir dan masa depan sebenarnya hal yang sangat
relatif. Bagi beberapa anak yang memiliki “calling” pada sebuah bakat tertentu,
barangkali akan lebih mudah mengarahkan masa depannya sejak dini. Tapi, banyak
anak yang justru lebih suka “tenggelam” dalam berbagai kegiatan dan malas
bicara soal masa depan. Bahkan, tak jarang, saat sudah menjelang memilih
jurusan ketika kuliah, remaja beranjak dewasa sering tak tahu arah atau justru
“ketakutan” memilih mana yang sesuai dengan bakatnya.
Untuk menjawab soal ketidaktahuan tentang masa depan ini,
Robert Hellmann, seorang konsultan karir di Manhattan yang juga mengajar kursus
pengembangan karir di New York University, menyebutkan tips yang
diistilahkannya: “Tujuh Kisah.” Caranya, anak-anak muda diberikan kesempatan
untuk menuliskan 20 contoh sepanjang hidupnya di mana mereka merasa menikmati
dan merasa melakukan yang terbaik pada masa itu. Lantas, pilihkan tujuh kisah
yang paling berarti baginya dan diskusikanlah dengan sang anak. Mulailah dengan
pertanyaan-pertanyaan seperti:: “Apa yang paling kamu nikmati pada masa ini?”,
“Apa yang membuat kamu merasa melakukan yang terbaik?”, “Bagaimana kamu
melakukannya?” dan pertanyaan lain seputar tujuh pilihan kisah terbaik
tersebut. Lantas, tuliskan hasil diskusi tersebut dan bebaskan anak mencerna
pada kisah-kisah itu, mana yang kemudian akan dieksplorasi sesuai dengan
keinginannya.
Apa
jadinya jika anak sendiri malah merasa kesulitan menentukan masa depan?
Kadang-kadang, anak sendiri pun merasa kesulitan saat
ditanya tentang apa yang diinginkan di masa depannya. Ini wajar. Tapi, jangan
sekali-kali mengintervensi tentang apa yang terbaik bagi dirinya. Lebih baik,
diskusikanlah hal tersebut dengan percakapan-percakapan ringan bersama anak.
Menurut Joan E.McLean, pengajar di Ohio Wesleyan
University in Delaware, Ohio, banyak orang yang bahkan ketika dewasa pun
sebenarnya masih mencari-cari apa yang paling tepat bagi kerirnya. Untuk hal
tersebut, waktu sendiri yang akan bicara. Sepanjang sebagai orangtua kita bisa
membuka dialog dengan anak tentang berbagai kemungkinan, maka anak akan terus
mengeksplorasi dunianya.
Untuk satu hal ini, Chansky menambahkan, bahwa anak usia
17 tahun atau yang sudah beranjak dewasa pun kadang belum tahu persis apa yang
diinginkan. Karena itu, ia menyarankan, agar orangtua membantu mengidentifikasi
tentang apa yang mereka suka dan tidak suka, apa yang jadi kekuatan dan
kelemahannya. “Dengan cara ini, setidaknya mereka memiliki informasi yang
penting seputar bagaimana mereka akan memilih karir dan masa depannya kelak,”
sebut Chansky.
Multiple
Intelligence oleh Howard Gardner, berdasar bukunya: ‘Intelligence Reframed:
Multiple Intelligence for The 21st Century’ (1999):
1. VISUAL/SPATIAL (Cerdas gambar/Picture
Smart)
Anak belajar secara visual dan mengumpulkan ide-ide.
Mereka berpikir secara konsep (holistik) untuk memahami sesuatu. Kemampuan
untuk melihat ‘sesuatu’ di dalam kepalanya itu mampu membuat dirinya pandai
memecahkan masalah atau berkreasi.
2. VERBAL/LINGUISTIC (Cerdas Kata/Word Smart)
Anak belajar lewat kata-kata yang terucap atau tertulis.
Kecerdasan ini biasanya dianggap unggul dalam lingkungan belajar di kelas dan
tes-tes gaya lama.
3. MATHEMATICAL/LOGICAL (Cerdas
Logika-Matematika/Logic Smart)
Anak senang belajar melalui cara argumentasi dan
penyelesaian masalah. Kecerdasan ini juga banyak dipakai dalam menentukan
kepandaian dalam tes model lama.
4. BODILY/KINESTHETIC (Cerdas Tubuh/Body Smart)
Anak belajar melalui interaksi dengan sebuah lingkungan
tertentu. Kecerdasan ini tak sepenuhnya bisa dianggap sebagai cerminan dari
anak yang terlihat ‘sangat aktif’. Sang anak biasanya senang berada di
lingkungan di mana ia bisa memahami sesuatu lewat pengalaman nyata.
5. MUSICAL/RHYTHMIC (Cerdas Musik/Music Smart)
Anak senang dengan pola-pola, ritmik, dan tentunya music.
Termasuk, bukan hanya pola belajar auditori tapi juga mempelajari sesuatu lewat
identifikasi menggunakan panca indera.
6. INTRAPERSONAL (Cerdas Diri/Self Smart)
Anak belajar melalui perasaan, nilai-nilai, dan sikap
yang ada dalam diri dan ditanamkan oleh sekelilingnya sedari bayi.
7. INTERPERSONAL
(Cerdas Bergaul/People Smart)
Anak belajar lewat interaksi dengan orang lain.
Kecerdasan ini mengutamakan kolaborasi dan kerja sama dengan orang lain.
8. NATURALIST (Cerdas Alam/Nature Smart)
Anak senang belajar dengan cara pengklasifikasian,
pengkategorian, dan urutan. Bukan hanya menyenangi sesuatu yang natural, tapi
juga senang menyenangi hal-hal yang rumit.
9. EXISTENTIAL (Cerdas Makna/Existence Smart)
Anak belajar sesuatu dengan melihat ‘gambaran besar’, “Mengapa
kita di sini?”, “Untuk apa kita di sini?”, “Bagaimana posisiku dalam keluarga,
sekolah dan kawan-kawan?”. Kecerdasan ini selalu mencari koneksi-koneksi antar
dunia dengan kebutuhan untuk belajar.
Sumber: Majalah Luar Biasa Desember 2010