Seorang cendekiawan menumpang perahu di sebuah danau. Ia bertanya pada tukang perahu,
"Sobat, pernahkah Anda mempelajari Matematika?"
"Tidak."
"Sayang sekali, berarti Anda telah kehilangan seperempat dari kehidupan Anda. Atau, barangkali Anda pernah mempelajari ilmu filsafat?"
"Itu juga tidak."
"Dua kali sayang, berarti Anda telah kehilangan lagi seperempat dari kehidupan Anda. Bagaimana dengan sejarah?"
"Juga tidak."
"Artinya, seperempat lagi kehidupan Anda telah hilang."
Tiba-tiba angin bertiup kencang dan terjadi badai. Danau yang tadinya tenang menjadi bergelombang, perahu yang ditumpangi mereka pun oleng. Cendekiawan itu pucat ketakutan. Dengan tenang tukang perahu itu bertanya,
"Apakah Anda pernah belajar berenang?"
"Tidak."
"Sayang sekali, berarti Anda akan kehilangan seluruh kehidupan Anda."
Kiriman humor dari seorang teman di atas mengajarkan kita beberapa hal:
- Kita tidak boleh sombong.
- Setinggi apa pun pendidikan kita, kita tidak mungkin menguasai semua ilmu, apalagi keterampilan.
- Kita membutuhkan orang lain, tidak peduli seberapa rendah pendidikan orang itu.
Makin Tinggi Hati, Makin Sakit Bila Jatuh.
Kisah cendekiawan yang sombong itu mengingatkan saya pada cerita seorang teman saya, Dave Hagelberg. Suatu kali ketika kami bersama-sama berdiri di sebuah pantai, pakar bahasa Yunani ini bercerita bahwa temannya pernah tenggelam di pantai.
Temannya itu seorang doktor di bidang geocostal morphologist, yaitu sebuah cabang ilmu mengenai perpantaian yang sangat langka dimiliki ilmuwan lain. Ia berdiri di suatu tempat dan ditegur oleh nelayan.
"Tuan, jangan berdiri di situ! Tempat itu sangat berbahaya."
Dengan tertawa ngakak, doktor ahli pantai itu berkata,
"Di dunia ini tidak banyak orang yang lebih mengerti seluk-beluk perpantaian dibanding saya."
Ucapannya itu adalah kata-katanya yang terakhir. Ombak menerjang di tempat ia berdiri, menyeretnya ke tengah laut, dan ia pun lenyap.
Cerita tentang nelayan adalah cerita klasik yang kebenarannya perlu kita renungkan.
Suatu kali seorang pengusaha sedang berlibur ke sebuah kampung nelayan. Ia merasa terganggu saat melihat seorang nelayan sedang bersantai di bawah pohon.
"Pak, mengapa Bapak tidak melaut?"
"Saya sudah melaut semalam dan saya perlu beristirahat."
"Kalau Bapak melaut lagi, Bapak akan menghasilkan banyak ikan."
"Lalu?"
"Bapak bisa mengumpulkan uang untuk membeli sebuah perahu."
"Lalu?"
"Dengan perahu itu, Bapak tidak perlu lagi menyetorkan sebagian keuntungan Bapak kepada pemilik perahu."
"Lalu?"
"Bapak bisa mengumpulkan lebih banyak uang untuk membeli perahu kedua."
"Lalu?"
"Dengan dua perahu, Bapak bisa menghasilkan lebih banyak uang dan membeli perahu ketiga, perahu keempat, perahu kelima, dan seterusnya."
"Lalu?"
"Jika perahu Bapak sudah banyak, Bapak bisa menyewakannya pada nelayan lain sehingga Bapak tidak perlu melaut."
"Lalu?"
"Bapak bisa hidup tenang dan bersantai."
Nelayan itu tersenyum dan berkata,
"Menurut Bapak, apa yang sedang saya lakukan sekarang?"
Nasihat pengusaha itu baik. Namun, apa yang dilakukan nelayan itu justru mengajarkan kita satu hal, "HIDUP HARUS SEIMBANG."
Pepatah Amerika mengatakan,
"Bekerja terus tanpa beristirahat akan menghasilkan orang seperti Jack, seorang yang mati dengan cepat dan Jean, seorang janda kaya."
Kita perlu, secara sengaja, berhenti sejenak dari kerja keras dan rutinitas kita untuk menikmati segarnya rerumputan hijau, kicauan burung di udara, dan harumnya mawar yang sedang mekar.
"Berani Berpikir Besar"
penulis: Xavier Quentin Pranata
Tidak ada komentar:
Posting Komentar